Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan
“damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati”
dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran
(Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka
“kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat
manusia. Namun apabila melihat kenyataan, ketika sejarah kehidupan
manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang
berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik
yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi
pertama anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan
dan pertengkaran yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang
kita itu? Atau perselisihan dan pertengkaran memang sudah sehakekat
dengan kehidupan manusia sehingga dambaan terhadap “kerukunan” itu ada
karena “ketidak-rukunan” itupun sudah menjadi kodrat dalam masyarakat
manusia?.
Pertanyaan seperti tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hanya untuk mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang tercipta.
Manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk sosial yang membutuhkan
hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk
sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
A. Kerja sama intern umat beragama
Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam islam. Al-qur’an menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat macam,yaitu :
– Ukhuwah ’ubudiyah atau saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
– Ukhuwah insaniyah (basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena semua berasal dari ayah dan ibu yang sama;Adam dan Hawa.
– Ukhuwah wathaniyah wannasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
– Ukhuwwah fid din al islam, persaudaraan sesama muslim.
Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam islam. Al-qur’an menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat macam,yaitu :
– Ukhuwah ’ubudiyah atau saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
– Ukhuwah insaniyah (basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena semua berasal dari ayah dan ibu yang sama;Adam dan Hawa.
– Ukhuwah wathaniyah wannasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
– Ukhuwwah fid din al islam, persaudaraan sesama muslim.
Esensi dari persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan
bentuk perhatian, kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib
sepenanggungan. Nabi menggambarkan hubungan persaudaraan dalam haditsnya
yang artinya, "Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu
tubuh, apabila salah satu anggota tubuh terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya." Ukhuwwah adalah
persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan kesatuan antar sesama.
Kebersamaan di kalangan muslim dikenal dengan istilah ukhuwwah
Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah.
Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang ini adalah
rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi
lemah. Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat
Islam adalah karena rendahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam.
Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara
nyata. Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi sebab
perpecahan umat. Perpecahan itu biasanya diawali dengan adanya perbedaan
pandangan di kalangan muslim terhadap suatu fenomena. Dalam hal agama,
di kalangan umat islam misalnya seringkali terjadi perbedaan pendapat
atau penafsiran mengenal sesuatu hukum yang kemudian melahirkan berbagai
pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat dan penafsiran pada dasarnya
merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi, karena itu menyikapi
perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai penafsiran.
Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu :
1. Konsep tanawwul al ’ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini
mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama
yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek
keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah. Keragaman cara beribadah
merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku Rasul yang ditemukan
dalam riwayat (hadits).
2. Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun (yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran). Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah, walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang disampaikannya setelah melalui ijtihad.
3. Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda.
2. Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun (yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran). Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah, walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang disampaikannya setelah melalui ijtihad.
3. Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda.
Ketiga konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam
mentolelir adanya perbedaan dalam pemahaman maupun pengalaman. Yang
mutlak itu hanyalah Allah dan firman-fiman-Nya,sedangkan interpretasi
terhadap firman-firman itu bersifat relatif. Karena itu sangat
dimungkinkan untuk terjadi perbedaan. Perbedaan tidak harus melahirkan
pertentangan dan permusuhan. Di sini konsep Islam tentang Islah
diperankan untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi sehingga tidak
menimbulkan permusuhan, dan apabila telah terjadi, maka islah diperankan
untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau kelompok yang
saling bertentangan.
B. Kerja sama antar umat beragama
Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara esensial ia merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa Isalam yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep al-quran dan As-sunnah, tetapi dampak sosial yanag lahirdari pelaksanaan ajaran isalam secara konsekwen ddapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.
Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara esensial ia merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa Isalam yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep al-quran dan As-sunnah, tetapi dampak sosial yanag lahirdari pelaksanaan ajaran isalam secara konsekwen ddapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.
Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antar bangsa,nilai-nilai ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kkebenaran dan keadilan. Dominasi salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran terhadap makna Islam, sebab ia hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal.
Universalisme Islam dapat dibuktikan anatara lain dari segi, dan sosiologi. Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan universalisme dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap manusia, tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang sederhana dan dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin hanya denga tindakan yang sangat mudah ,yakni membaca syahadat. Jika ia tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam.
Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut agama islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara khusus untuk menunjukan peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari ajaran Al-Qur’an tanpa mengurangi universalisme Islam.
Melihat Universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian, menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku, bangsa dan agama.
Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicamputi pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja samayang baik. Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial antar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama ydalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
SumberKutipan: Buku Agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar