Menikah Kini Atau Menikah Nanti?
MENIKAH itu Menyempurnakan Separuh Agama.
Di
 zaman ini tidak ragu lagi penuh godaan di sana-sini. Di saat  
wanita-wanita sudah tidak lagi memiliki rasa malu. Di saat kaum hawa  
banyak yang tidak lagi berpakaian sopan dan syar’i. Di saat perempuan  
lebih senang menampakkan betisnya daripada mengenakan jilbab yang  
menutupi aurat. Tentu saja pria semakin tergoda dan punya niatan jahat, 
 apalagi yang masih membujang. Mau membentengi diri dari syahwat dengan 
 puasa amat sulit karena ombak fitnah pun masih menjulang tinggi. Solusi
  yang tepat di kala mampu secara fisik dan finansial adalah dengan  
menikah.
Menyempurnakan Separuh Agama. 
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نِصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي
“Jika
 seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya.  
Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al  
Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Lihat bahwa di antara 
keutamaan  menikah adalah untuk menyempurnakan separuh agama dan kita 
tinggal  menjaga diri dari separuhnya lagi. Kenapa bisa dikatakan 
demikian? Para  ulama jelaskan bahwa yang umumnya merusak agama 
seseorang adalah  kemaluan dan perutnya. Kemaluan yang mengantarkan pada
 zina, sedangkan  perut bersifat serakah. Nikah berarti membentengi diri
 dari salah  satunya, yaitu zina dengan kemaluan. Itu berarti dengan 
menikah separuh  agama seorang pemuda telah terjaga, dan sisanya, ia 
tinggal menjaga  lisannya.
Al Mula ‘Ali Al Qori 
rahimahullah dalam Mirqotul  Mafatih Syarh Misykatul Mashobih berkata 
bahwa sabda Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam “bertakwalah pada 
separuh yang lainnya”, maksudnya  adalah bertakwalah pada sisa dari 
perkara agamanya. Di sini dijadikan  menikah sebagai separuhnya, ini 
menunjukkan dorongan yang sangat untuk  menikah.
Al 
Ghozali rahimahullah (sebagaimana dinukil dalam  kitab Mirqotul Mafatih)
 berkata, “Umumnya yang merusak agama seseorang  ada dua hal yaitu 
kemaluan dan perutnya. Menikah berarti telah menjaga  diri dari salah 
satunya. Dengan nikah berarti seseorang membentengi diri  dari godaan 
syaithon, membentengi diri dari syahwat (yang menggejolak)  dan lebih 
menundukkan pandangan.”
 Kenapa Masih Ragu untuk Menikah? 
Sebagian
 pemuda sudah diberikan oleh Allah keluasan rizki. Ada yang  kami temui 
sudah memiliki usaha yang besar dengan penghasilan yang  berkecukupan. 
Ia bisa mengais rizki dengan mengolah beberapa toko  online. Ada pula 
yang sudah bekerja di perusahaan minyak yang  penghasilannya tentu saja 
lebih dari cukup. Tetapi sampai saat ini  mereka  belum juga menuju 
pelaminan. Ada yang beralasan belum siap. Ada  lagi yang beralasan masih
 terlalu muda. Ada yang katakan  pula ingin  pacaran dulu. Atau yang 
lainnya ingin sukses dulu dalam bisnis atau  dalam berkarir dan 
dikatakan itu lebih urgent. Dan berbagai alasan  lainnya yang 
diutarakan. Padahal dari segi finansial, mereka sudah siap  dan tidak 
perlu ragu lagi akan kemampuan mereka. Supaya memotivasi  orang-orang 
semacam itu, di bawah ini kami utarakan manfaat nikah yang  lainnya.
(1) Menikah akan membuat seseorang lebih merasakan ketenangan. 
Coba renungkan ayat berikut, Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Dan
 di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu  
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa  
tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Ruum: 21). Lihatlah ayat ini menyebutkan  
bahwa menikah akan lebih tentram karena adanya pendamping. Al Mawardi  
dalam An Nukat wal ‘Uyun berkata mengenai ayat tersebut, “Mereka akan  
begitu tenang ketika berada di samping pendamping mereka karena Allah  
memberikan pada nikah tersebut ketentraman yang tidak didapati pada yang
  lainnya.” Sungguh faedah yang menenangkan jiwa setiap pemuda.
(2) Jangan khawatir, Allah yang akan mencukupkan rizki. 
Dari
 segi finansial sebenarnya sudah cukup, namun selalu timbul was-was  
jika ingin menikah. Was-was yang muncul, “Apa bisa rizki saya mencukupi 
 kebutuhan anak istri?” Jika seperti itu, maka renungkanlah ayat berikut
  ini,
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى 
مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ  عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا 
فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن  فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan
 kawinkanlah orang-orang  yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
 yang layak (berkawin)  dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan 
hamba-hamba sahayamu yang  perempuan. Jika mereka miskin Allah akan 
memampukan mereka dengan  karunia-Nya. Dan Allah Maha luas 
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  (QS. An Nuur: 32). Nikah adalah 
suatu ketaatan. Dan tidak mungkin Allah  membiarkan hamba-Nya sengsara 
ketika mereka ingin berbuat kebaikan  semisal menikah.
Di 
antara tafsiran Surat An Nur ayat 32 di  atas adalah: jika kalian itu 
miskin maka Allah yang akan mencukupi rizki  kalian. Boleh jadi Allah 
mencukupinya dengan memberi sifat qona’ah  (selalu merasa cukup) dan 
boleh jadi pula Allah mengumpulkan dua rizki  sekaligus (Lihat An Nukat 
wal ‘Uyun). Jika miskin saja, Allah akan  cukupi rizkinya. Bagaimana 
lagi jika yang bujang sudah berkecukupan dan  kaya?
Dari ayat di atas, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
التمسوا الغنى في النكاح
“Carilah kaya (hidup berkecukupan) dengan menikah.”  (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim mengenai tafsir ayat di atas).
Disebutkan
 pula dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang  yang 
ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah  
radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  
bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di
  antaranya,
وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ
“…
  seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An Nasai 
 no. 3218, At Tirmidzi no. 1655.)  Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An 
Nasai membawakan hadits  tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi 
orang yang nikah yang ingin  menjaga kesucian dirinya”. Jika Allah telah
 menjanjikan demikian, itu  berarti pasti. Maka mengapa mesti ragu?
 (3) Orang yang menikah berarti menjalankan sunnah para Rasul. 
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan
 sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan  Kami 
memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar Ra’du:  
38). Ini menunjukkan bahwa para rasul itu menikah dan memiliki  
keturunan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ الْحَيَاءُ وَالتَّعَطُّرُ وَالسِّوَاكُ وَالنِّكَاحُ
“Empat
 perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu sifat malu,  memakai 
wewangian, bersiwak dan menikah.” (HR. Tirmidzi no. 1080 dan  Ahmad 
5/421.)
(4) Menikah lebih akan menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan. 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا
 مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ  
فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ  
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai
 para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah[1], maka  menikahlah. 
Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih  menjaga kemaluan.
 Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena  puasa itu bagai 
obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan  Muslim no. 1400). 
Imam Nawawi berkata makna baa-ah dalam hadits di atas  terdapat dua 
pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada  satu makna, 
yaitu sudah memiliki kemampuan finansial untuk menikah. Jadi  bukan 
hanya mampu berjima’ (bersetubuh), tapi hendaklah punya kemampuan  
finansial, lalu menikah. Para ulama berkata, “Barangsiapa yang tidak  
mampu berjima’ karena ketidakmampuannya untuk memberi nafkah finansial, 
 maka hendaklah ia berpuasa untuk mengekang syahwatnya.” (Al Minhaj 
Syarh  Shahih Muslim)
Itulah keutamaan menikah. Semoga 
membuat  mereka-mereka tadi semakin terdorong untuk menikah. Berbeda 
halnya jika  memang mereka ingin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 
yang belum  menikah sampai beliau meninggal dunia. Beliau adalah orang 
yang ingin  memberi banyak manfaat untuk umat dan itu terbukti. Itulah 
yang  membuatnya mengurungkan niat untuk menikah demi maksud tersebut.  
Sedangkan mereka-mereka tadi di atas, bukan malah menambah manfaat,  
bahkan diri mereka sendiri binasa karena godaan wanita yang semakin  
mencekam di masa ini.
(5) Menempuh Jalan yang Benar. 
Kami
  menganjurkan untuk segera menikah di sini bagi yang sudah 
berkemampuan,  bukan berarti ditempuh dengan jalan yang keliru. Sebagian
 orang  menyangka bahwa menikah harus lewat pacaran dahulu supaya lebih 
mengenal  pasangannya. Itu pendapat keliru karena tidak pernah diajarkan
 oleh  Islam. Pacaran tentu saja akan menempuh jalan yang haram seperti 
mesti  bersentuhan, berjumpa dan saling pandang, ujung-ujungnya pun bisa
 zina  terjadilah MBA (married be accident). Semua perbuatan tadi yang  
merupakan perantara pada zina diharamkan sebagaimana firman Allah  
Ta’ala,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan
 janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu  
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32)
Kemudian
 nasehat kami pula bagi mahasiswa yang masih kuliah (masih  sekolah) 
bahwa bersabarlah untuk menikah. Sebagian mahasiswa yang belum  rampung 
kuliahnya biasanya sering “ngambek” pada ortunya untuk segera  nikah, 
katanya sudah tidak kuat menahan syahwat. Padahal kerja saja ia  belum 
punya dan masih mengemis pada ortunya. Bagaimana bisa ia hidupi  
istrinya nanti? Kami nasehatkan, bahagiakan ortumu dahulu sebelum  
berniat menikah. Artinya lulus kuliah dahulu agar ortumu senang dan  
bahagia karena itulah yang mereka inginkan darimu dan tugasmu adalah  
berbakti pada mereka. Setelah itu carilah kerja, kemudian utarakan niat 
 untuk menikah. Semoga Allah mudahkan untuk mencapai maksud tersebut.  
Oleh karenanya, jika memang belum mampu menikah, maka perbanyaklah puasa
  sunnah dan rajin-rajinlah menyibukkan diri dengan kuliah, belajar ilmu
  agama, dan kesibukan yang manfaat lainnya. Semoga itu semakin 
membuatmu  melupakan nikah untuk sementara waktu.
Adapun 
yang sudah mampu  untuk menikah secara fisik dan finansial, janganlah 
menunda-nunda!  Jangan Saudara akan menyesal nantinya karena yang sudah 
menikah biasa  katakan bahwa menikah itu enaknya cuma 1%, yang sisanya 
(99%) “enak  banget”. Percaya deh!
Ada Jalan Buat Menikah. 
Bukankah memperbaiki diri berarti memperbaiki jodoh?
Mereka adalah orang-orang yang menyadari tak mudah membagi konsentrasi hingga memilih untuk fokus kuliah, fokus menaikkan kualitas diri dengan terus belajar. Tentunya belajar dalam artian luas. Belajar pada siapapun, kapanpun, dimanapun, pada apapun yang membuat dirinya menjadi pribadi yang cerdas dan matang, atau ada beberapa kasus bahwa ia kemudian menjadi tulang punggung keluarga hingga fokus untuk membantu perekonomian, menyekolahkan adik-adik, membahagiakan orang-orang yang telah begitu berjasa dalam hidupnya. Tidakkah itu golongan orang-orang hebat, ketika ‘kebahagiaan pribadi’ itu pun rela disingkirkan untuk sementara waktu karena kecintaannya pada keluarganya?
Banyak buku bertebaran kini dengan tujuan mengajak menikah muda. Biasanya buku-buku dengan genre seperti itu, laris di pasaran. Market-nya siapa lagi kalau bukan para anak muda. Begitu pula dengan majelis-majelis yang pasti selalu saja ramai didatangi kalau yang menjadi tema tak jauh-jauh tentang menikah muda. Ada asap pastilah ada api. Buku-buku atau tema-tema itu menjadi sedemikian booming-nya tentu menjadi alasan tersendiri bagi mereka yang prihatin melihat keadaan anak muda masa kini. Daripada ‘aneh-aneh’, ayo menikah! Begitulah kira-kira yang bisa kusimpulkan.
Dampaknya bisa macam-macam. Dampak positifnya para anak muda akan termotivasi untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir bathin-nya untuk bersanding dengan pujaan hati yang telah lama menjadi idamannya. Yang malas belajar jadi semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan, jadi semangat dalam bekerjanya. Wow.. indah bukan? Kalau seperti ini aku pun setuju.
Tapi kulihat ada beberapa teman setelah membaca buku atau mendatangi majelis biasanya semangat menikah begitu menggelora di dada. Terpesona pada kenikmatan yang di dapat dalam pernikahan. Lupa bahwa menikah dikatakan menyempurnakan setengah dien dikarenakan begitu berat perjalanan yang akan dilalui.Belum ada persiapan apa-apa langsung tancep gas saja ingin menikah. Seperti perang. Pisau belum diasah, masih tumpul, sudah main terjun aja ke lapangan. Atau baru punya pisau satu yang tajam, langsung tergesa-gesa ingin bertarung aja. Belum apa-apa musuh udah membuat kita KO dengan senapannya. Maka sebelum berperang, paling tidak sudah punya persiapan pisau, senapan kalau bisa bom sekalian agar bisa menang dalam pertarungan. Hehe.. Maksudku di sini, paling tidak memiliki persiapan yang cukup menuju ke mahligai pernikahan. Masih ingat tulisanku sebelumnya? Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan?
Menikah hanya dengan alasan keinginan untuk melindungi dan dilindungi, keinginan untuk disayang dan menyayangi, diperhatikan dan memperhatikan, ditemani dan menemani agar tak kesepian atau sejenisnya tidaklah cukup. Menikah bukan perkara sesederhana itu. Menikah adalah perkara tanggungjawab. .. Pertanyaannya kemudian, siapkah kita menjalani tanggungjawab itu? Tanggungjawab untuk mencari nafkah bagi lelaki dan mengurus rumah tangga bagi perempuan. Menyiapkan sedini mungkin tabungan untuk segala perkara yang tak terduga ( biaya pendidikan, berobat dll). Walau memang pernikahan memperluas rizki, tapi tak berarti ‘nekat’ menikah tanpa memiliki tabungan sedikit pun, bukan? Tentunya kita selalu ingin memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang disayangi. Maka persiapkanlah itu. Tak perlu lantas menunggu menjadi seorang yang kaya raya dahulu baru menikah. Paling tidak memiliki semangat dalam upaya mencari nafkah (dalam artian memiliki sikap mandiri yang wajib diemban bagi mereka yang memilih untuk menikah). Memiliki semangat dalam upaya untuk terus belajar dan menyerap ilmu (karena lelaki menjadi imam yang tentu saja harus butuh ilmu untuk membimbing keluarganya. Pun seorang wanita yang menjadi guru pertama bagi anak-anaknya kelak).
Menikah cepat itu baik tapi tidak berarti tergesa-gesa. Tergesa-gesa dikhawatirkan berujung pada kecewa. Salah satu contoh menikah tergesa-gesa, adalah ( pembelajaran bagi kita semua), tak terlalu mengenal sang calon, sudah terbuai dulu pada sosoknya yang begitu kharismatik, ternyata setelah menikah baru ketahuan telah memiliki istri lain.Ingatkan kasus artis kita yang sempat merajai pemberitaan media masa di negeri ini? Contoh lain, setelah menikah ternyata malah merepotkan orang lain. Tak menyangka bahwa begitu banyak persoalan dalam rumah tangga hingga orangtua, kerabat, teman-teman ikut dilibatkan. Waah.. ternyata belum bisa untuk mandiri…
Berhati-hati agar tidak tergesa-gesa menikah berbeda dengan menunda-nunda pernikahan. “Nanti setelah lulus kuliah baru menikah”, setelah lulus Sarjana Strata 1 muncul perkataan lain, “setelah S2 dulu deh baru nikah”, “setelah kerja aja deh nikahnya” atau.. “setelah posisiku di kerjaan settle dulu deh”..setelah ini setelah itu dst.. Sampai akhirnya terus menunda.. entah sampai kapan.. bukan seperti itu. Jadi teringat joke salah seorang temanku perihal sikap wanita terhadap lelaki yang mendekati. Wanita berusia 18- 25 tahun, “nanti dulu deh”. 26- 30 tahun,” boleh deh” 31 tahun ke atas, “yang mana aja deh”. hehe…
Sekedar ice breaking:). Ya, apabila telah mengenal calon dan keluarganya dengan baik, siap lahir batin ditambah sudah tak mampu lagi menahan hasrat, untuk apalagi menunda?
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan..
Seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR. Thabrani)
Imam, yang kini telah menjadi imam bagi istrinya, semoga adalah orang yang termasuk diberi pertolongan oleh Allah.. amin..
Mereka adalah orang-orang yang menyadari tak mudah membagi konsentrasi hingga memilih untuk fokus kuliah, fokus menaikkan kualitas diri dengan terus belajar. Tentunya belajar dalam artian luas. Belajar pada siapapun, kapanpun, dimanapun, pada apapun yang membuat dirinya menjadi pribadi yang cerdas dan matang, atau ada beberapa kasus bahwa ia kemudian menjadi tulang punggung keluarga hingga fokus untuk membantu perekonomian, menyekolahkan adik-adik, membahagiakan orang-orang yang telah begitu berjasa dalam hidupnya. Tidakkah itu golongan orang-orang hebat, ketika ‘kebahagiaan pribadi’ itu pun rela disingkirkan untuk sementara waktu karena kecintaannya pada keluarganya?
Banyak buku bertebaran kini dengan tujuan mengajak menikah muda. Biasanya buku-buku dengan genre seperti itu, laris di pasaran. Market-nya siapa lagi kalau bukan para anak muda. Begitu pula dengan majelis-majelis yang pasti selalu saja ramai didatangi kalau yang menjadi tema tak jauh-jauh tentang menikah muda. Ada asap pastilah ada api. Buku-buku atau tema-tema itu menjadi sedemikian booming-nya tentu menjadi alasan tersendiri bagi mereka yang prihatin melihat keadaan anak muda masa kini. Daripada ‘aneh-aneh’, ayo menikah! Begitulah kira-kira yang bisa kusimpulkan.
Dampaknya bisa macam-macam. Dampak positifnya para anak muda akan termotivasi untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir bathin-nya untuk bersanding dengan pujaan hati yang telah lama menjadi idamannya. Yang malas belajar jadi semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan, jadi semangat dalam bekerjanya. Wow.. indah bukan? Kalau seperti ini aku pun setuju.
Tapi kulihat ada beberapa teman setelah membaca buku atau mendatangi majelis biasanya semangat menikah begitu menggelora di dada. Terpesona pada kenikmatan yang di dapat dalam pernikahan. Lupa bahwa menikah dikatakan menyempurnakan setengah dien dikarenakan begitu berat perjalanan yang akan dilalui.Belum ada persiapan apa-apa langsung tancep gas saja ingin menikah. Seperti perang. Pisau belum diasah, masih tumpul, sudah main terjun aja ke lapangan. Atau baru punya pisau satu yang tajam, langsung tergesa-gesa ingin bertarung aja. Belum apa-apa musuh udah membuat kita KO dengan senapannya. Maka sebelum berperang, paling tidak sudah punya persiapan pisau, senapan kalau bisa bom sekalian agar bisa menang dalam pertarungan. Hehe.. Maksudku di sini, paling tidak memiliki persiapan yang cukup menuju ke mahligai pernikahan. Masih ingat tulisanku sebelumnya? Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan?
Menikah hanya dengan alasan keinginan untuk melindungi dan dilindungi, keinginan untuk disayang dan menyayangi, diperhatikan dan memperhatikan, ditemani dan menemani agar tak kesepian atau sejenisnya tidaklah cukup. Menikah bukan perkara sesederhana itu. Menikah adalah perkara tanggungjawab. .. Pertanyaannya kemudian, siapkah kita menjalani tanggungjawab itu? Tanggungjawab untuk mencari nafkah bagi lelaki dan mengurus rumah tangga bagi perempuan. Menyiapkan sedini mungkin tabungan untuk segala perkara yang tak terduga ( biaya pendidikan, berobat dll). Walau memang pernikahan memperluas rizki, tapi tak berarti ‘nekat’ menikah tanpa memiliki tabungan sedikit pun, bukan? Tentunya kita selalu ingin memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang disayangi. Maka persiapkanlah itu. Tak perlu lantas menunggu menjadi seorang yang kaya raya dahulu baru menikah. Paling tidak memiliki semangat dalam upaya mencari nafkah (dalam artian memiliki sikap mandiri yang wajib diemban bagi mereka yang memilih untuk menikah). Memiliki semangat dalam upaya untuk terus belajar dan menyerap ilmu (karena lelaki menjadi imam yang tentu saja harus butuh ilmu untuk membimbing keluarganya. Pun seorang wanita yang menjadi guru pertama bagi anak-anaknya kelak).
Menikah cepat itu baik tapi tidak berarti tergesa-gesa. Tergesa-gesa dikhawatirkan berujung pada kecewa. Salah satu contoh menikah tergesa-gesa, adalah ( pembelajaran bagi kita semua), tak terlalu mengenal sang calon, sudah terbuai dulu pada sosoknya yang begitu kharismatik, ternyata setelah menikah baru ketahuan telah memiliki istri lain.Ingatkan kasus artis kita yang sempat merajai pemberitaan media masa di negeri ini? Contoh lain, setelah menikah ternyata malah merepotkan orang lain. Tak menyangka bahwa begitu banyak persoalan dalam rumah tangga hingga orangtua, kerabat, teman-teman ikut dilibatkan. Waah.. ternyata belum bisa untuk mandiri…
Berhati-hati agar tidak tergesa-gesa menikah berbeda dengan menunda-nunda pernikahan. “Nanti setelah lulus kuliah baru menikah”, setelah lulus Sarjana Strata 1 muncul perkataan lain, “setelah S2 dulu deh baru nikah”, “setelah kerja aja deh nikahnya” atau.. “setelah posisiku di kerjaan settle dulu deh”..setelah ini setelah itu dst.. Sampai akhirnya terus menunda.. entah sampai kapan.. bukan seperti itu. Jadi teringat joke salah seorang temanku perihal sikap wanita terhadap lelaki yang mendekati. Wanita berusia 18- 25 tahun, “nanti dulu deh”. 26- 30 tahun,” boleh deh” 31 tahun ke atas, “yang mana aja deh”. hehe…
Sekedar ice breaking:). Ya, apabila telah mengenal calon dan keluarganya dengan baik, siap lahir batin ditambah sudah tak mampu lagi menahan hasrat, untuk apalagi menunda?
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan..
Seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR. Thabrani)
Imam, yang kini telah menjadi imam bagi istrinya, semoga adalah orang yang termasuk diberi pertolongan oleh Allah.. amin..
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar